Author Archives: muttaqi89

dialog syekh albani dg pembesar sufi

Standar

Lebih dari dua puluh tahun lalu, ketika Syaikh Nashiruddin Al-Albani rohimahulloh baru datang ke Amman, beliau ditanya oleh salah seorang pembesar Sufi. Dalam pembicaraan via telepon tersebut, Syaikh Al-Albani mendapat teguran keras dari si penelepon.

Penelepon : “Wahai Syaikh Nasir, sungguh aneh. Seharusnya anda lebih beradab!”

Syaikh Albani : “Apa yang ada pada anda wahai Syaikh Fulan?”

Penelepon : “Karena anda dan murid-murid anda mengkafirkan kaum muslimin”

Syaikh Albani : “Kami?”

Penelepon : “Iya, benar”

Syaikh Albani : “Saya akan bertanya sesuatu kepada anda”

Penelepon : “Silahkan”

Syaikh Albani : “ Apa pendapat anda tentang seorang laki-laki yang berdiri di depan kubur, kemudian mengucapkan niat dengan keras :”saya berniat sholat dua rokaat untuk penghuni kubur ini”

Penelepon : “orang ini kafir dan juga musyrik”

Syaikh Albani : “Adapun kami, kami tidak mengatakan kafir dan musyrik. Kami katakan bahwa orang tersebut adalah orang yang jahil, dan kami akan mengajarinya. Berarti siapa yang mengkafirkan manusia wahai Syaikh Fulan? kami atau anda?”

syubhat pecinta tahlilan

Standar

 

 

 

 

syubhat :”Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”
————————————————————————————————
Hadis ini di komentari oleh tokoh WAHABI >>>>Atsar ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Haafiz Ibnu Hajar dalam Al-Mathoolib al-‘Aaliyah (5/330 no 834), sebagaimana berikut:
Seluruh perawi atsar di atas adalah tsiqoh, hanya saja sanadnya terputus antara Sufyan dan Thoowuus. Thoowuus bin Kaisaan Al-Yamaani wafat 106 H (Taqriibut Tahdziib hal 281 no 3309) adapun Sufyaan bin Sa’id bin Masruuq Ats-Tsauri lahir pada tahun 97 H (lihat Siyar A’laam An-Nubalaa 7/230)
—————————————————————————————————–
JAWABAN NU :
Maaf pernyataan Anda yang tertulis: “Seluruh perawi atsar di atas adalah tsiqoh, hanya saja sanadnya terputus antara Sufyan dan Thoowuus”, bukan pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar, akan tetapi pernyataan sang pentahqiq, yaitu Basim Inayat yang kuliah di Universitas Wahabi. Anda sepertinya kurang teliti. Kutipan Anda, sangat jelas mengesankan bahwa penilaian riwayat tersebut berasal dari al-Hafizh Ibnu Hajar, bukan sang pentahqiq.

Cukup sebagai bantahan terhadap Anda yang mengaburkan keshahihan riwayat tersebut, adalah pernyataan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi tentang riwayat tersebut:

“Para perawi sanad tersebut adalah para perawi hadits shahih. Thawus termasuk pembesar tabi’in. Sedangkan Sufyan al-Tsauri telah mengikuti masa Thawus. Karena Thawus wafat tahun 110 lebih, dalam salah satu pendapat. Sedangkan kelahiran Sufyan, tahun 97. Hanya saja sebagian besar riwayatnya dari Thawus melalui perantara.”.

komentar : imam as-suyuti cuma mengatakan mereka satu masa bukan ada pertemuan keduanya..
ahkan ia (Sufyaan) belum keluar dari negerinya (Kuufah).
أَخْبَرَنَا ابن رزق، قال: أَخْبَرَنَا عثمان بن أحمد، قال: حَدَّثَنَا حنبل بن إسحاق، قال: قال أبو نعيم: خرج سفيان الثوري من الكوفة سنة خمس وخمسين ومائة ولم يرجع، ومات سنة إحدى وستين ومائة، وهو ابن ست وستين فيما أظن
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Rizq, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Utsmaan bin Ahmad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hanbal bin Ishaaq, ia berkata : Telah berkata Abu Nu’aim (Al-Fadhl bin Dukain) : “Sufyaan Ats-Tsauriy keluar dari Kuufah pada tahun 155 H, dan kemudian ia tidak kembali lagi. Ia meninggal tahun 161 H dalam usia 66 tahun sebagaimana yang aku kira” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad, 10/242 – biografi Sufyaan Ats-Tsauriy].
Sanad riwayat ini shahih, semua perawinya tsiqaat.
Dan ana akan menambahkan bahwa pendapat yang dipegang oleh As Suyuuthiy bahwa Thaawus wafat antara tahun 113-119 H sebenarnya sudah dibantah oleh Adz Dzahabiy dalam As Siyar,

لا رَيْبَ فِي وَفَاةِ طَاوُسٍ فِي عَامِ سِتَّةٍ وَمِائَةٍ، فَأَمَّا قَوْلُ الْهَيْثَمِ: مَاتَ سَنَةَبِضْعَ عَشْرَةَ وَمِائَةٍ فَشَاذٌّ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Tidak ada keraguan tentang wafatnya Thaawus pada tahun 106 H, adapun perkataan Al Haitsam: “Wafat antara tahun 113-119 H”, adalah pendapat yang syaadz. Wallaahu a’lam. [As Siyar 9/50]

 

 

 

TIPU MUSLIHAT SYIAH MELALUI HEMFER

Standar

Pihak yang merasa paling terancam dengan dakwah Syaikh adalah kelompok Rafidhah yang dakwahnya penuh dengan kesyirikan dan mengajak kepada pemujaan kuburan serta meminta kepada imam-imam mereka. Lalu mereka mengarang sebuah diary (catatan harian) yang dinisbatkan kepada mata-mata Inggris yang mereka beri nama Hemfer. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa Syaikh dan dakwahnya adalah kacung dan cecunguk Inggris. Fakta dan kenyataan sejarah justru memastikan bahwa orang-orang Rafidhahlah yang selalu menjadi antek Yahudi, Salibis dan Paganisme (penyembah berhala) hingga hari ini untuk memerangi agama Allah yang hak dan para pemeluknya. Mereka adalah pengkhianat yang selalu berusaha memfitnah orang-orang terhormat dengan berbagai fitnah keji sebagaimana diketahui semua orang. Para penganut Rafidhah telah menjadi antek musuh-musuh Islam sejak zaman Ibnu al-Alqami sang konspirator yang menjalin hubungan dengan pasukan Tattar untuk menjatuhkan Baghdad kepada bangsa Mongol sampai peristiwa penggempuran Irak oleh tentara salibis multinasional pimpinan Amerika pada tahun 2003 M. Tidak ada dakwah yang terang-terangan menguliti borok-borok Rafidhah seperti Dakwah Salafiah yang sudah biasa dicap oleh orang-orang yang menyelisihinya dengan sebutan “Wahhabi”. Padahal Dakwah Salafiah ini mengajak umat agar kembali kepada sumber asli, al-Qur`ān dan Sunnah Nabi sesuai dengan pemahaman dan pengamalan para salafuṣ ṣāliḥ. Inilah yang dapat membasmi seluruh kebatilan Rafidhah atau kelompok menyimpang lainnya. Adapun isi dari diary palsu tersebut, kesimpulannya ialah menceritakan tentang seorang mata-mata Inggris yang pura-pura masuk Islam untuk memecah belah kaum muslimin dengan menyebarkan faktor-faktor yang dapat memicu timbulnya perpecahan tersebut. Mata-mata rekaan tersebut, Hemfer, dalam misinya itu berkenalan dengan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhāb di kota Bashrah, Irak. Pada saat itu Ibnu Abdil Wahhāb adalah seorang pemuda liberal. Mata-mata Inggris tersebut kemudian merekrutnya menjadi mata-mata guna memuluskan rencana Inggris merusak Islam dan kaum muslimin. Semua kebatilan yang difitnahkan kepada syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang tertulis dalam diary palsu itu dengan mudah tersingkap kepalsuannya dan telah dibantah oleh para peneliti yang adil (bukan hanya dari kalangan Muslim). Di antara bukti yang menunjukkan kebatilan dan kebohongan di balik catatan harian itu, dan bukti bahwa si mata-mata Hemfer hanyalah rekaan atau karangan semata, antara lain, ialah: 1- Tidak ada naskah asli diary berbahasa Inggris Inggris tersebut; Penyebar isu menyebutkan bahwa diary itu ditulis dalam bahasa Inggris sebelum diterjemahkan dalam bahasa Arab. Bahkan sekedar informasi ada tidaknya catatan harian dimaksud pihak Inggris sendiri tidak memiliki informasi sama sekali. 2- Tidak ada informasi tentang jati diri penulis diary palsu tersebut, termasuk dari pihak Inggris sendiri. 3- Penerjemah bersembunyi dibalik nama samaran dan yang ditulis hanya huruf-huruf yang sama sekali tidak menunjukkan seseorang yang dikenal. 4- Tidak ada sedikitpun petunjuk tentang keberadaan diary (catatan harian) ini dalam buku-buku rujukan yang ditulis oleh para peneliti tentang kemunculan dan fenomena Dakwah Salafiah yang diusung oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, baik yang ditulis oleh peneliti muslim maupun non muslim. Mustahil karya-karya ilmiah tidak memuat informasi penting seperti ini. 5- Semua yang tertulis dalam karya-karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bertolak belakang dengan apa yang tertulis dalam diary jadi-jadian tersebut. 6- Dalam diary itu tertulis bahwa Menteri penjajahan Inggris mengutus Hemfer pada tahun 1710 M ke Mesir, Irak, Hijaz, dan Taheran. Padahal sama-sama kita ketahui dengan pasti bahwa pada waktu itu Inggris belum memiliki menteri penjajahan. 7- Penulis diary menyebut kekaisaran Inggris sebagai yang matahari tidak tenggelam darinya (jaya). Padahal pada waktu itu Inggris belum menyandang julukan tersebut, karena Inggris baru dapat merebut India pada tahun 1819 M, Burma tahun 1824M, China tahun 1842 M, dan Mesir tahun 1882 M . 8- Hemfer mengaku bertemu dengan syaikh pada tahun 1713 M. Padahal usia beliau pada saat itu belum genap sepuluh tahun. 9- Para peneliti telah meneliti dalam arsip-arsip ensiklopedia dan manuskrip Inggris yang ditulis semenjak sekitar 300 tahun lalu, tetapi tidak ditemukan diary tersebut, begitu juga dengan informasi tentang Hemfer yang diisukan sebagai penulis diary. Sungguh disayangkan ternyata tipu muslihat Rafidhah ini ditelan mentah-mentah oleh beberapa kalangan umat Islam sendiri yang juga merasa terusik kepentingannya dengan dakwah Syaikh lalu melabelkan hal yang sama kepada beliau dan dakwahnya. Padahal, pada hakikatnya dakwah Syaikh berasaskan pada pemurnian tauhid serta mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata berdasarkan apa yang disyari’atkan Allah dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasululullah, meninggalkan bid’ah dan maksiat serta menegakkan Islam yang telah ditinggalkan penganutnya. Dua imam tersohor di Yaman yaitu Imam aṣ-Ṣan’āni (penulis kitab Subulussalām) dan asy-Syaukani memberikan pujian yang harum kepada beliau. Imam aṣ-Ṣan’āni memuji Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam bait syair yang indah karena beliau telah melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta memuji ketakwaan dan keilmuan Syaikh yang luas dalam sebuah surat yang dikirim pada tahun 1163 H. Asy-Syaukani dalam kitabnya menyebut beliau sebagai al-Badr aṭ-Ṭāli’ bi Maḥāsin min ba’di al-Qarn as-Sābi’. Pada tahun 1215 H dua jilid kitab sampai kepada beliau kiriman dari Syaikh. Salah satu jilidnya mencakup risalah Muhammad bin Abdul Wahhab yang semuanya menekankan untuk ikhlas dalam mengesakan Allah, dan menjauhkan diri dari syirik yang banyak dilakukan oleh para pemuja kubur. Risalah itu adalah risalah yang sangat bagus karena didasari pada dalil dari al-Qur`an dan Sunnah. Imam asy-Syaukani menulis lebih dari seratus bait syair yang sangat menyentuh mengungkapkan belasungkawa atas wafatnya syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Di antara ulama yang juga memuji Syaikh adalah ulama Hadits dari India Muhammad Basyir as-Sahwani dalam kitabnya “Ṣiyānah al-Insan ‘an Waswasah asy-Syaikh Dahlan”. Dalam kitab itu dia menulis, “Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab) tidak dikenal darinya satu perkataanpun yang menyendiri dari ulama lain dan tidak pula dari Ahlussunnah waljama’ah. Seluruh perkataannya dalam bab ini, maksud saya apa yang beliau dakwahkan berupa tauhid asmā` wa ṣifāt dan tauhid dalam amal serta ibadah merupakan perkara yang telah disepakati kaum muslimin. Tidak ada yang menyelisihi masalah tersebut selain orang yang keluar dari golongan mereka (Ahlussunnah) dan menyimpang dari manhaj mereka, seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah dan para penyembah kubur ekstrim. Bahkan apa yang beliau sampaikan adalah perkara yang disepakati oleh para Rasul dan Kitab-Kitab yang diturunkan. Sebagaimana hal itu diketahui oleh orang-orang yang telah mengenal baik apa yang beliau dakwahkan”. Di antara ulama yang memuji cucu-cucu Syaikh dan para pengikutnya adalah al-‘Allāmah al-Jabrati, sejarawan Mesir yang terkenal. Dia memuji cucu Syaikh dan para pengikutnya dalam bukunya “’Aja’ib al-Aṡar”. Demikian juga dengan al-‘Allāmah Nu’man Khairuddin al-Umawi, al-‘Allāmah Mahmud Syukri al-Alūsi dan al-Amir Syukaib Arislan dan ulama-ulama lain yang mengkaji kitab-kitab Syaikh secara objektif. Ini menjelaskan bahwa akidah Syaikh sama dengan akidah salafuṣ ṣhalih yang mengalir dari sumber yang murni dan mengikuti para imam, seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad, Sufyan, al-Laiṡ, al-Auzā’i dan orang-orang selevel mereka. Akan tetapi, sudah menjadi tabiat manusia ketika ada sesuatu tidak sejalan dengan kesukaan dan kebiasaan yang telah berlaku umum mereka akan memusuhinya, Allah berfirman: وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ “Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau antusias akan hal itu”. (Q.S. Yusuf: 103). Dan Allah berfirman: أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا “Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan manusia mendengar atau mengerti (kebenaran), sungguh mereka tidak obahnya seperti binatang ternak bahkan lebih sesat dari mereka”. (al-Furqan: 44). Juga firman Allah: كَذَلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ “Demikianlah, tidaklah diutus seorang rasul pun sebelum mereka melainkan mereka mengatakan tentangnya ‘seorang penyihir’ atau ‘orang gila’”. (Q.S. adz-Dzariyat: 52). Dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa Waraqah bin Naufal berkata pada Nabi “Tidak seorang pun datang menyampaikan seperti yang engkau bawa melainkan dia akan dianiaya. Jika aku hidup sampai pada waktu itu maka aku akan menolongmu dengan pertolongan yang besar”. Inilah yang dapat saya sampaikan secara ringkas, sesungguhnya kami hanya mengajak umat untuk mengikuti akidah yang benar, mengikuti al-Qur`an dan Sunnah yang sahih bukan mengajak umat untuk mengikuti Muhammad bin Abdul Wahhab. Jika kami katakan bahwa apa yang beliau tulis dalam buku-bukunya adalah merupakan kebenaran, itu karena kami menemukan kesesuaiannya dengan al-Qur`an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salafush shalih. Demikian pun kami tidak menjadikan beliau sebagai landasan dalam dakwah kami, karena sumber rujukan kami adalah al-Qur`an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salafush shalih seperti Imam Syafi’i dan Imam-imam Ahlussunnah lainnya. Oleh karena itu, kami berharap ketersinggungan dan ketidaksukaan kita kepada beliau, lantaran apa yang disampaikannya bertentangan dengan apa yang selama ini kita yakini dan amalkan, janganlah hendaknya sampai menghalangi kita untuk berpikir kritis dan objektif dengan tuntunan al-Qur`ān dan Hadits; supaya kita tidak terjebak pada sikap dan tindakan memusuhi sesuatu yang ternyata benar. Oleh sebab itu kita berkewajiban menyampaikannya pula kepada saudara-saudara kita dengan cara yang baik dan penuh hikmah dan kesabaran walaupun mereka mencela dan menisbatkan cerita-cerita palsu pada Syaikh. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita dan mereka semua, semoga Allah memperbaiki hati-hati kita serta menyatukan kalimat kita, sungguh Dia Maha Kuasa atas hal itu. Wallāhu a’lam.

syubhat pencela adz-dzahabi

Standar

syubhat :Wahai sobat q sekalian,, baik dari Aswaja atau dari sekte kebanggaanku ‘WAHABI’.. Ente semua tahu Imam Adz-Dzahabi …?! yup’s.. beliau Ulama pilih tanding & bahkan oleh Syaik kami dari sekte Wahabi ,beliau Imam Adz-Dzahabi dijadikan rujukan sob…(keren kan ) Tapi aneh-nya sob..beliau Imam Adz-Dzahabi dalam kitab yg masyur ” Siyar A’lam an-Nubala’ ” malah mengajarkan & meriwayatkan hal2 syirik & bidah khurafat sepeti Tabaruk mencari berkah di-kuburan orang shaleh,,, Waduuuuh….. menuru ente semua sob.. yang koplak syaik ane dari Wahabi atau Imam Ad-Dzahabi yg selama ini kami (wahabi) jadikan rujukan.
Lihat neh di-kitab beliau sob : Doa itu MUSTAJAB (BILA DIBACA) DI SISI MAKAM PARA NABI DAN WALI, juga di beberapa tempat yang lain. Namun penyebab terkabulnya doa adalah hadhirnya hati orang yang berdoa, kekhusyuka nya, dan TIDAK DIRAGUKAN LAGI DI TEMPAT-TEMPAT YANG DIBERKATI, di masjid, saat sahur dan sebagainya dimana doa akan lebih banyak didapat oleh pelakunya. Dan setiap orang yang sangat membutuhkan maka doanya akan diijabahi” (al-Hafidz adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’ 17/77)
jawab : antum gak faham perkataan adz-dzahabi,itu adalah bantahan perkataan sebelumnya,lihat selengkapnya:
قَالَ:وَرَأَيْتُ لَهُ كِتَاب(السُّنَن)، وَ(مُعْجَم الصَّحَابَة)، مَا رَأَيْتُ أَحْسَنَ مِنْهُ، وَالدُّعَاءُ عِنْد قَبْرِهِ مُسْتَجَابٌ وُلِدَ سَنَةَ ثَمَانٍ وَثَلاَثِ مائَةٍ، وَمَاتَ فِي رَبِيْعٍ الآخِرِ، سَنَة ثَمَانٍ وَتِسْعِيْنَ وَثَلاَثِ مائَةٍ.(17/77)
وَقَالَ الحَسَنُ بنُ عَلِيِّ بنِ بُنْدَار الرَّنْجَانِيّ الفَرَضِيّ:مَا رَأَيْتُ قَطُّ مِثْلَ ابْنِ لاَل – رَحِمَهُ اللهُ – .
قُلْتُ:وَالدُّعَاءُ مُسْتَجَاب عِنْد قُبُوْر الأَنْبِيَاء وَالأَوْلِيَاء، وَفِي سَائِر البِقَاع، لَكِن سَبَبُ الإِجَابَة حُضُورُ الدَّاعِي، وَخُشُوعُهُ وَابتِهَاله، وَبلاَ رَيْبٍ فِي البقعَةِ المُبَارَكَة، وَفِي المَسْجَدِ، وَفِي السَّحَر، وَنَحْوِ ذَلِكَ، يَتَحَصَّلُ ذَلِكَ للدَاعِي كَثِيْراً، وَكُلُّ مُضطر فَدُعَاؤُه مُجَابٌ
perhatikan : doa dikabulkan di dekat makam para Nabi dan wali, juga di beberapa tempat. NAMUN penyebab terkabulnya doa adalah konsentrasi orang yang berdoa dan kekhusyukannya. Dan tidak diragukan lagi di tempat-tempat yang diberkati, di masjid, saat sahur dan sebagainya. Doa akan lebih banyak didapat oleh pelakunya.

ane yakin ente faham apa fungsi kalimah لَكِن

berarti yg ditegaskan kalimat sesudah atau sebelumnya ?
hanya orang yang gak faham bahasa arab yg bisa tertipu

bahkan Adz Dzahabi membawakan perkataan dari Ibrahim Al Harbi yang berbunyi:

قبر معروف الترياق المجرب

Kuburan Ma’ruf Al Kharki adalah obat yang mujarab

Adz Dzahabi rahimahullah mengomentari:

يريد إجابة دعاء المضطر عنده، لأن البقاع المباركة يستجاب عندها الدعاء، كما أن الدعاء في السحر مرجو، ودبر المكتوبات، وفي المساجد بل دعاء المضطر مجاب في أي مكان اتفق

Yang dimaksud adalah terkabulnya doa di samping kuburnya. Karena sebidang tanah yang diberkahi membuat doa dikabulkan di sana. Sebagaimana doa di waktu sahur dikabulkan, juga doa di ujung shalat, doa di masjid bahkan doa dalam keadaan terdesak akan dikabulkan dimanapun tempat yang disepakati

Read the rest of this entry

Apa kata Imam Asy Syafi’i tentang adzan jum’at2 kali ?

Standar

[قَالَ الشَّافِعِيُّ]: وَأُحِبُّ أَنْ يَكُونَ الْأَذَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ حِينَ يَدْخُلُ الْإِمَامُ الْمَسْجِدَ وَيَجْلِسُ عَلَى مَوْضِعِهِ الَّذِي يَخْطُبُ عَلَيْهِ خَشَبٌ، أَوْ جَرِيدٌ أَوْ مِنْبَرٌ، أَوْ شَيْءٌ مَرْفُوعٌ لَهُ، أَوْ الْأَرْضُ فَإِذَا فَعَلَ أَخَذَ الْمُؤَذِّنُ فِي الْأَذَانِ فَإِذَا فَرَغَ قَامَ فَخَطَبَ لاَ يَزِيدُ عَلَيْهِ

Imam Asy-Syafi’i berkata: “Dan aku sukai bahwa Adzan pada hari jum’at adalah ketika imam masuk kedalam masjid dan duduk diatas tempatnya yakni tempat ia hendak berkhutbah yang terbuat dari kayu. atau mimbar atau sesuatu yang dapat menjadikannya tinggi, atau tanah. Maka apabila telah selesai (imam naik keatas mimbar) hendaklah Muadzin mengumandangkan adzan dan apabila selesai adzan tersebut hendaklah imam berkhutbah tanpa ada tambahan lain.”

وَأُحِبُّ أَنْ يُؤَذِّنَ مُؤَذِّنٌ وَاحِدٌ إذَا كَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ لاَ جَمَاعَةُ مُؤَذِّنِينَ أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ قَالَ: أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ: أَخْبَرَنِي الثِّقَةُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ الْأَذَانَ كَانَ أَوَّلُهُ لِلْجُمُعَةِ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ فَلَمَّا كَانَتْ خِلاَفَةُ عُثْمَانَ وَكَثُرَ النَّاسُ أَمَرَ عُثْمَانَ بِأَذَانٍ ثَانٍ فَأُذِّنَ بِهِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

Beliau melanjutkan: “Dan aku sukai bahwa muadzin mengumandangkan adzan seorang diri apabila ia (imam) telah diatas mimbar, dan tidak boleh mengumpulkan dua muadzin.” Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ ia berkata; Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i ia berkata; telah mengabarkan kepada kami secara tsiqah (terpercaya) dari Az-Zuhri dari Saib bin Yazid bahwa Adzan pertama kali untuk jum’at adalah ketika imam telah duduk diatas mimbar, ini pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan Abu Bakar dan Umar, kemudian pada masa khalifah Utsman sedangkan saat itu manusia telah banyak maka Utsman memerintahkan untuk mengadakan adzan kedua, maka terjadilah adzan (kedua) pada masa itu, dan menjadi baku-lah hal itu.

[قَالَ الشَّافِعِيُّ]: وَقَدْ كَانَ عَطَاءٌ يُنْكِرُ أَنْ يَكُونَ عُثْمَانُ أَحْدَثَهُ وَيَقُولُ أَحْدَثَهُ مُعَاوِيَةُ، وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.

Berkata Imam Asy-Syafi’i: Dan sesungguhnya ‘Atha mengingkari (tidak menyetujui) perbuatan itu bahwa Utsman telah melakukan perbuatan muhdats (baru) akan tetapi ia (‘Atha) berkata bahwa Mu’awiyahlah yang melakukan perbuatan muhdats itu. Wallahu Ta’ala a’lam.

قَالَ الشَّافِعِيُّ]: وَأَيُّهُمَا كَانَ فَالْأَمْرُ الَّذِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَحَبُّ إلَيَّ

Berkata Asy-Syafi’i: “Yang mana saja, dari kedua hal itu (pada masa Utsman atau Muawiyah) maka Apa yang terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu’Alaihi wasallam lebih aku sukai. (yakni adzan sekali)(Kitab Al-Umm Juz I, Kitab Shalat, Bab Kewajiban Jumat)

3 SYUBHAT KAUM PEROMBAK SUNNAH

Standar

1.Bagaimana kalian sholat seandainya ada yang mengulang-ulang al-ikhlash dalam salat sedangkan itu perkara bid`ah dan bid`ah katanya semua sesat ?? ingat dan catat ini perbuatan Kaltsul bin Hadm. Ini tidak dilarang Rasulullah walau bukan beliau memulainya. Dan bukan pula beliau yang pertamakali mencontohkannya

وَمَا يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُومِ هَذِهِ السُّورَةِ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ فَقَالَ إِنِّى أُحِبُّهَا فَقَالَ حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ (رواه البخارى 774

2. Bagaimana kalian sholat seandainya tanpa bacaan tasyahhud “”wahdahu laa syariika lahuu wa anna muhammadan abduhu wa rasuuluhu dst dst.. Sedangkan bacaan tasyahhud itu perkara bid`ah,urusansyariat dan bidah katanya semua sesat ?? dan catat juga kalimat ini juga do`a sholawat dan salam kepada Rasulullah sedangkan beliau sudah tiada. katanya do`a itu tidaksampai….Nah Apakah kalian tinggalkan ?? ingat dan catat ini perbuatan pertama kalinya oleh Abdullah bin Umar. pengumpul dan penyusun quran selain Zeyd bin Tsabit ra atas printah khalifah hingga jadi seperti sekarang ini. Apakah beliau ini tidak paham quran dan hadits dan yang lebih paham nurut kalian adalah muhammad bin abdul wahab soal bid`ah??
Ini tidak dilarang Rasulullah walau bukan beliau memulainya. Dan bukan pula beliau yang pertama kali mencontohkannya

قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ فِيهَا وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ (رواه أبو داود رقم 826). قال الالباني : إسناده صحيح وكذا قال الدارقطني وأقره الحافظ العسقلاني . اهـ صحيح أبي داود (4/125

3. Bagaimana kalian haji seandainya tidak membaca bacaan talbiyah “labbaika allahummalabbaika, labbaika wa sa’daika wa al-khairu bi yadaika wa ar-raghba’ ilaika waal-‘amal dst dst yang sering berkumandang itu.sedangkan bacaan talbiyah itu perkara bid`ah ,urusan syariat dan bid`ah katanya semua sesat ?? Apakah kalian tinggalkan ?? ingat dan catat ini perbuatan pertama kalinya oleh Abdullah bin Umar . Ini tidakdilarang Rasulullah walau bukan beliau memulainya. Dan bukan pula beliau yangpertama kali mencontohkannya
وَكَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَزِيدُ فِيهَا لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ (صحيح مسلم رقم 2029

JAWABAN
1. Perbuatan tersebut pada asalnya dilaporkan kepada Nabi karena mereka menganggap bahwa perkara tersebut dilarang, jadi para sahabat memiliki keyakinan bahwa hukum asal suatu syari’at adalah tidak disyariatkan hingga ada dalil yang menyatakannya. Setelah Nabi mentakrirnya maka hal tersebut diperbolehkan. Perlu diketahui pula bahwa Nabi pun, berdasarkan hadits ‘Aisyah, sering mengulang-ulang doa dan dzikir dalam shalat, demikian pula banyak dari ulama salaf, semisal Abdullah bin Mas’ud, serta para ulama dari kalangan tabi’in, mengulang2 surat atau ayat. Jadi memang bukan bid’ah karena ada sunnahnya dari Nabi dan para sahabat, bukan bid’ah.
2. Tasyahhud, memang berasal dari Nabi :
وأخرج مسلم وأبو داود وابن ماجه عن أبي موسى الأشعري قال: قال رسول الله : “… وإذا كان عند القعدة فليكن من أول قول أحدكم: التحيات الطيبات الصلوات لله، السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته، السلام علينا، وعلى عباد الله الصالحين، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله.

http://ar.wikipedia.org/wiki/%D8%A7%D9%8…
Perhatikan perkataan Ibnu ‘Umar, yang beliau tambahkan adalah wahdahu laa syariika lahuu, bukan tasyahud itu sendiri, akan tetapi tambahan beliau memang sudah diajarkan oleh Nabi kepada para sahabat.
doa selalu sampai bila terpenuhi syarat-syarat diterimanya doa.
Ketika mengumpulan Al-Qur`an pun mereka awalnya berselisih, namun kemudian mereka sepakat, dan pengumpulan Al-Qur`an bukan bid’ah karena pada masa Nabi, para sahabat pun mengumpulkan Al-Qur`an hanya saja belum menjadi satu kesatuan, mereka pun menulis hadits, jadi menulis dan mengumpulkan Al-Qur`an dan hadits memang pada asalnya merupakan sunnah Nabi dan Khulafaurrasyidin.
3. Lafadh labbaik yang ditambahkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar adalah warragha ilaika wal ‘amal, jadi talbiah asalnya dari Nabi. Dan talbiah ‘Abdullah bin ‘Umar sendiri menukil dari ‘Umar bin Al-Khaththab, jadi Anda keliru dalam ucapan bahwa lafadh yang ‘Abdullah bin ‘Umar bawakan awalnya oleh Ibnu ‘Umar, bahkan dari ‘Umar, berarti termasuk sunnah khulafaurrasyidin, bukan bid’ah : http://www.islam2all.com/hadeeth/moslem/…http://www.google.com/imgres?safe=off&hl=id&bih=461&biw=1024&tbm=isch&tbnid=8kKTUIxhPc_RvM:&imgrefurl=http://www.mencintaisederhana.com/2013/02/bedakan-bidah-hasanah-dan-bidah-sayyiah.html&docid=JbSbydLclrn7GM&imgurl=http://2.bp.blogspot.com/-bEgX_Id8_qk/URg8PwwrOUI/AAAAAAAAFj4/iMKGM9iy8rE/s640/fitnah-Islam1.jpg&w=481&h=306&ei=xkyQUsj3M8e4rgeI_IDYDg&zoom=1&iact=rc&page=3&tbnh=162&tbnw=255&start=23&ndsp=13&ved=1t:429,r:31,s:0&tx=95&ty=98

bid’ah hasanah cuma agak sesat ???

Standar

Suka · · Promosikan · Bagikan
Ustadz Thoyib
11 November
Taruhlah jika mereka tetap kekeuh bahwa tidak setiap bid’ah adalah sesat. Maka bagaimanakah mereka jika dihadapkan dengan lafazh hadits berikut?

كل بدعة ضلالة و كل ضلالة في النار

..wa kullu bid’atin dhålaalah, wa KULLU DHÅLAALATIN finn-naar

“Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”

[HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang SHÅHIH]

Maka dengan mengganti arti “KULLU” dengan ‘sebagian’, maka makna hadits diatas akan menjadi:

“SEBAGIAN bid’ah adalah kesesatan, dan SEBAGIAN KESESATAN tempatnya di neraka”

Maka kita tanyakan: “Apakah ada kesesatan yang membawa ke surga?” Allåhul musta’aan, cukuplah ini menjadi hujjah yang nyata bagi orang-orang yang berpikir

adakah sunnahnya minta didoakan orang lain ???

Standar

اسْتَأذَنْتُ النَّبيَّ – صلى الله عليه وسلم – في العُمْرَةِ ، فَأذِنَ لِي ، وَقالَ : (( لاَ تَنْسَنا يَا أُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ )) فَقَالَ كَلِمَةً مَا يَسُرُّنِي أنَّ لِي بِهَا الدُّنْيَا
وفي رواية : وَقالَ أشْرِكْنَا يَا أُخَيَّ في دُعَائِكَ
حديث صحيح رواه أَبُو داود والترمذي، وَقالَ: حديث حسن صحيح

“Aku minta izin kepada Nabi SAW untuk melakukan umrah, dan beliau mengizinkanku. Kemudian Nabi SAW bersabda, ‘Jangan engkau lupakan kami hai saudaraku dalam doamu’.” Umar berkata, “Sungguh, itulah suatu ucapan yang menyenangkan bagiku, daripada aku memiliki dunia ini”.

Dalam riwayat lain: Nabi berpesan, “Sertakanlah (sebutkanlah) kami dalam doa-doamu hai saudaraku”. (An-Nawawi berkata, “Hadits shahih”. Riwayat Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan shahih)
tapi Hadits ini sanadnya dha’if karena ada perawi yang bernama Asim bin Ubaidillah, seorang yang dha’if dan semua jalur melalui dia.Jadi Imam An-Nawawi menshahihkan hadits ini seakan-akan ia bertaqlid kepada At-Tirmidzi, dimana hadits itu seakan-akan tidak nampak oleh beliau kedha’ifannya.’

Bolehkah Makmum Yang Masbuk Menjadi Imam?

Standar

ada dua pendapat. Pertama, tidak boleh. Orang yang shalat bermakmum kepada makmum yang masbuk, shalatnya dinilai tidak sah. Ini menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Mazhab Imam Malik menambahkan penjelasan bahwa apabila makmum masbuk yang dijadikan imam itu sempat mendapatkan satu rakaat bersama imam, kita tidak boleh bermakmum kepadanya. Tetapi kalau ia tidak mendapatkan satu rakaat pun bersama imam, kita boleh bermakmum kepadanya.
Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadits Nabi . “Sesungguhnya seseorang dijadikan imam untuk diikuti, maka janganlah kalian berselisih terhadapnya.” Demikian kurang lebih sabda Nabi . yang diriwayatkan oleh Bukhari, juga oleh Muslim, dan bersumber dari Sahabat Abu Hurairah . Seorang makmum, menurut pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, jelas bukan imam. Oleh karena itu, ia tidak boleh “diikuti”, dalam arti ‘dijadikan imam’.
Dalil kedua yang dijadikan dasar pijakan oleh mazhab Abu Hanifah dan Malik adalah sabda Rasulullah . yang mengatakan, “Seorang imam menanggung, dan seorang muazin dipercaya.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, bersumber dari Abu Hurairah .). Maksud hadits ini: seorang imam menanggung bacaan al-Fatihah makmum. Dalam pandangan kedua mazhab fikih ini, seorang makmum masbuk ‘ketinggalan’ membaca surah al-Fatihah yang menjadi syarat sahnya shalat, kalau ia bermakmum dan mendapati imam sedang rukuk. Bacaan al-Fatihah makmum masbuk itu “ditanggung” oleh imam. Lalu, bagaimana seorang masbuk yang tidak membaca surah al-Fatihah itu dapat menjadi imam?
Kedua, boleh bermakmum kepada makmum yang masbuk. Ini pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Menurut mereka, shalat bermakmum kepada makmum lain yang masbuk tetap sah. “Kecuali kalau shalat yang dilakukan adalah shalat Jumat,” demikian pendapat Hanbali. Ibnu Taimiyah juga mengatakan boleh.
Pendapat ini didasarkan pada hadits berikut. Ibnu Abbas berkata, “Suatu ketika aku tidur di rumah Maimunah, dan Rasulullah . pada malam itu berada di sana. Rasul saw. berwudu lalu melaksanakan shalat (sendiri, munfarid), lalu aku berdiri (untuk bermakmum) di sebelah kiri beliau, tetapi beliau menarik dan memindahkan aku ke sebelah kanannya.” (HR Bukhari dan Muslim). Juga hadits berikut. Anas menuturkan, “Rasulullah . melaksanakan shalat (munfarid) pada bulan Ramadhan. Aku kemudian datang dan berdiri di samping beliau. Kemudian datang orang lain dan berdiri, sampai jumlah kami agak banyak. Ketika Rasul . merasa bahwa kami berada di belakang beliau, beliau lalu meringankan shalatnya. (HR Muslim).
Berdasarkan hadits di atas, menurut pendapat kedua, seorang yang melakukan shalat munfarid boleh saja beralih menjadi imam. Dan seorang makmum yang masbuk tidak jauh beda dengan seorang yang melaksanakan shalat munfarid. Buktinya, makmum masbuk harus melakukan sujud sahwi kalau ia lupa salah satu rukun shalat. Jadi, makmum masbuk sah untuk dijadikan imam oleh makmum masbuk yang datang kemudian.
Selain itu, Imam Syafi’ dan Imam Abu Hanifah juga berpegang pada hadits lain yang bersumber dari Ibunda Aisyah. Dalam hadits itu disebutkan bahwa Nabi . bermakmum kepada Abu Bakar. Nabi shalat sambil duduk di sebelah kiri Abu Bakar. Nabi kemudian mengimami shalat jamaah sambil duduk, sedang Abu Bakar bermakmum sambil berdiri. Abu Bakar mengikuti shalat Nabi ., dan jamaah yang lain mengikuti gerakan Abu Bakar. (Hadits ini juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Pakar-pakar fikih mazhab Syafi’i dan Hanbali menilai bahwa hadits di atas merupakan petunjuk bahwa perpindahan seseorang dari makmum menjadi imam adalah sah dan pernah terjadi pada masa Nabi . Ketika itu, Abu Bakar yang sebelumnya menjadi imam beralih menjadi makmum, dan Rasulullah . yang sebelumnya bermakmum kepada Abu Bakar beralih menjadi imam. Dengan demikian, seorang makmum yang masbuk boleh saja menjadi imam.
Mari kita lihat penjelasan dari ulama besar, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni yang digelari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya,

عَنْ رَجُلٍ أَدْرَكَ مَعَ الْجَمَاعَةِ رَكْعَةً فَلَمَّا سَلَّمَ الْإِمَامُ قَامَ لِيُتِمَّ صَلَاتَهُ فَجَاءَ آخَرُ فَصَلَّى مَعَهُ فَهَلْ يَجُوزُ الِاقْتِدَاءُ بِهَذَا الْمَأْمُومِ؟

“Ada seseorang yang mendapati jama’ah tinggal satu raka’at. Ketika imam salam, ia pun berdiri dan menyempurnakan kekurangan raka’atnya. Ketika itu, datang jama’ah lainnya dan shalat bersamanya (menjadi makmum dengannya). Apakah mengikuti makmum yang masbuk semacam ini dibolehkan?”

Jawaban beliau rahimahullah,
Mengenai shalat orang yang pertama tadi ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad dan selainnya. Akan tetapi pendapat yang benar, perbuatan semacam ini dibolehkan. Inilah yang menjadi pendapat kebanyakan ulama. Hal tadi dibolehkan dengan syarat orang yang diikuti merubah niatnya menjadi imam dan yang mengikutinya berniat sebagai makmum.
dari Majmu’ Al Fatawa (22/257-258)
Yang benar, orang yang datang dan hendak bermakmum, tidak perlu menepuk pundaknya, tapi langsung memposisikan diri di samping kanan orang yang sedang shalat sendirian itu, lurus sejajar, dan tidak geser sedikit ke belakang.

Kesimpulan ini berdasarkan hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي مَيْمُونَةَ لَيْلَةً، فَلَمَّا كَانَ فِي بَعْضِ اللَّيْلِ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَوَضَّأَ مِنْ شَنٍّ مُعَلَّقٍ وُضُوءًا خَفِيفًا، وَقَامَ يُصَلِّي، فَتَوَضَّأْتُ نَحْوًا مِمَّا تَوَضَّأَ، ثُمَّ جِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَحَوَّلَنِي فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ

Pada suatu malam, saya menginap di rumah bibiku Maimunah, di Saya shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam. Setelah larut malam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun dan berwudhu dari air yang terdapat dalam bejana yang menggantung, lalu beliau shalat. Akupun berwudhu seperti wudhu beliau, dan langsung menuju beliau dan aku berdiri di sebelah kiri beliau. Lalu beliau memindahkanku ke sebelah kanan beliau. (HR. Bukhari 138).

Maimunah adalah salah satu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sekaligus bibi Ibnu Abbas dari ibunya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jatah malam di Maimunah, Ibnu Abbas ikut bersama mereka. Dan ketika itu, Ibnu Abbas belum baligh.

Dalam hadis di atas, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma datang ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mulai shalat. Dan beliau tidak menepuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun langsung berdiri di samping kiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena posisinya yang salah, Ibnu Abbas dipindah ke posisi sebelah kanan.

THORIQOH TINJANIYAH

Standar

Thariqat Tijaniyah ini didirikan oleh Syaikh Ahmad at-Tijani yang nama lengkapnya adalah Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukh-tar at-Tijani.

Thariqat ini berkembang di ka-wasan utara Afrika, Jazirah Arab, Eropa (terutama Prancis), dan seba-gian wilayah Asia. Di Indonesia sen-diri, aliran ini mendapatkan reaksi pe-nolakan dari aliran thariqat lain kare-na ajarannya yang menyatakan bah-wa pengikut aliran Tijaniyah beserta tujuh generasi keturunannya akan di-perlakukan secara khusus pada hari kiamat nanti dan diharamkan berhu-bungan dengan guru pembimbing da-ri aliran thariqat lain.

Ini adalah beberapa kepercayaan dan ritual thariqat Tijaniyah:

Membaca beberapa dzikir terten-tu untuk bersatu dengan ruh Nabi.
Meyakini bahwa mereka memiliki alam barzakh tersendiri.
Akan masuk surga bersama Rasu-lullah dalam rombongan pertama.
Menempatkan posisi Syaikh at-Ti-jani sebagai penutup para wali dan bisa memberikan syafaat di akhirat kelak.
Meyakini bahwa pahala Shalawat Fatih bisa menandingi pahala baca-an al-Qur’an.

(Majalah UMMATie, Aliran Sesat Kian Menjamur, Tahun I Edisi 06 Desember 26th, 2008 ).

Ilustrasi: republika.co.id

Wirid Tijaniyah dan Dalaailul Khairat

Soal kelima dari Fatwa nomor 2392:

Soal 5: Apa hukum wirid-wirid auliya’ (para wali) dan shalihin (orang-orang shalih) seperti mazhab Qadyaniyah dan Tijaniyah dan lainnya? Apakah boleh memeganginya ataukah tidak, dan apa hukum Kitab Dalail al-Khairat?

Jawab 5: Pertama: Telah terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits nash-nash (teks) yang mengandung do’a-do’a dan dzikir-dzikir masyru’ah (yang disyari’atkan). Dan sebagian ulama telah mengumpulkan satu kumpulan do’a dan dzikir itu, seperti An-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar , Ibnu as-Sunni dalam Kitab ‘Amalul Yaum wallailah, dan Ibnul Qayyim dalam Kitab Al-Wabil As-Shoib, dan kitab-kitab sunnah yang mengandung bab-bab khusus untuk do’a-do’a dan dzikir-dzikir, maka wajib bagimu merujuk padanya.

Kedua: Auliya’ (para wali) yang shalih adalah wali-wali Allah yang mengikuti syari’at-Nya baik secara ucapan, perbuatan, maupun i’tikad (keyakinan). Dan adapun kelompok-kelompok sesat seperti At-Tijaniyyah maka mereka itu bukanlah termasuk auliya’ullah (para wali Allah). Tetapi mereka termasuk auliya’us syaithan (para wali syetan). Dan kami nasihatkan kamu membaca kitab Al-Furqon baina auliya’ir Rahman wa Auliya’is Syaithan, dan Kitab Iqtidhous Shirothil Mustaqiem Limukholafati Ash-habil Jahiem, keduanya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Ketiga: Dari hal yang telah dikemukakan itu jelas bahwa tidak boleh bagi seorang muslim mengambil wirid-wirid mereka dan menjadikannya suatu wiridan baginya, tetapi cukup atasnya dengan yang telah disyari’atkan yaitu yang telah ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Keempat: Adapun Kitab Dalail al-Khairat maka kami nasihatkan anda untuk meninggalkannya, karena di dalamnyamengandung perkara-perkara al-mubtada’ah was-syirkiyah (bid’ah dan kemusyrikan). Sedangkan yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terkaya darinya (tidak butuh dengan bid’ah dan kemusyrikan yang ada di dalam KitabDalail Al-Khairat itu).

Wabillahit taufiq. Washollallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad, wa alihi washohbihi wasallam.

Al-Lajnah Ad-Da’imah lil-Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’:

Ketua Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, anggota Abdullah bin Ghadyan, anggota Abdullah bin Qu’ud.

(Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lilbuhuts al-‘ilmiyyah wal Ifta’, Darul ‘Ashimah, Riyadh, cetakan 3, 1419H, halaman 320-321). Dikutip dari buku Bila Kyai Dipertuhankan, Membedah Sikap Beragama NU, ditulis bersama oleh Hartono Ahmad Jaiz dan Abduh Zulfidar Akaha, Pustaka Al-Kautsar, 2001 M, sampai sekarang masih beredar..

Penyelewengan Terhadap Ayat : Ingatlah Suatu Hari Kami Panggil Tiap Umat Dengan Pemimpinnya

Rabu, 3 Februari 2010 15:36:06 WIB

PENYELEWENGAN TERHADAP AYAT : (INGATLAH) SUATU HARI (YANG PADA HARI ITU) KAMI PANGGIL TIAP UMAT DENGAN PEMIMPINNYA..

Oleh
Ustadz Abu Minhâl

Penyelewengan Terhadap Ayat
يوم ند عوا كل اناس باءممه

(Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya..
Pembaca,
Pembahasan Rubrik Firoq kali ini, kami angkat penggalan surat al-Isrâ`/17 ayat 71 sebagaimana tertulis pada judul. Yang secara lebih luas telah kami bahas pada Kategori Al-Qur’an : Tafsir http://www.almanhaj.or.id/content/2644/slash/0 Dan pembahasan berikut merupakan keterkaitannya. Semoga bermanfaat.

__________________________________
PENYELEWENGAN MAKNA AYAT

Sebagian kelompok, dengan sengaja melakukan penafsiran yang dipaksakan atas ayat tersebut, berkaitan dengan penyebutan kata “imam”. Mereka melakukan penyelewengan terhadap makna ayat. Ini dilakukan untuk mendukung kepentingan golongan atau kelompoknya supaya bisa tetap eksis, dan para tokohnya teropini sebagai sosok yang hebat, lantaran akan dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala saat hari Kiamat kelak. Para pengikutnya pun dibuat tercengang dengan tafsiran tersebut.
Di antara golongan yang “memanfaatkan” ayat ini ialah Islam Jama’ah, yang kini bernama Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Kelompok yang sudah berulang kali berganti nama ini memelintir kandungan ayat di atas. Mereka memberi penafsiran, yang isinya diarahkan kepada pemimpin LDII, yaitu Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol). Berdasarkan penuturannya dalam “tafsir manqul” miliknya, ia berkata: “Pada hari kami panggil setiap manusia dengan imam mereka, sehingga yang tidak punya amir, maka akan masuk neraka”. Penyebutan kata “imam” yang dimaksud oleh LDII ialah amir mereka, yaitu Nur Hasan. Keterangan ini dituturkan oleh mantan tokoh besar LDII yang telah sadar, yaitu Ustadz Hâsyim Rifâ’i yang pernah berguru selama 17 tahun kepada Nur Hasan ‘Ubaidah Lubis, pendiri LDII.[1]

Kalangan lainnya, yaitu Sufi, juga berkepentingan memegangi ayat ini untuk mempropagandakan thariqat-thariqat yang sebenarnya tidak pernah dicetuskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalangan Sufi menggiring jamaah-jamaahnya untuk taat kepada para syuyûkh (guru) penggagasnya secara mutlak. Padahal dari ayat tersebut tidak ada muatan sedikit pun yang bisa mendukung klaim mereka. Hal ini akan menjadi jelas dari dua sisi.[2]

Pertama : Para ulama besar dari kalangan ahli tafsir tidak ada satu pun dari mereka yang memaknai kata “imam” dengan makna “syaikh-syaikh tarikat”. Orang-orang yang ahli dalam bidang tafsir pada masa lalu, seperti Ibnu ‘Abbâs, al-Hasan al-Bashri, Mujâhid, Qatâdah, adh-Dhahhâk, mereka memberi penafsiran kata “imam” dengan makna kitab yang berisi amalan-amalan. Demikian pula Imam al-Qurthubi rahimahullah dan Imam Ibnu Katsir rahimahullah merajihkan pengertian ini dengan merujuk firman Allah pada surat Yâsîn/36 ayat 12.

Menurut al-Qâsimi rahimahullah, yang dirajihkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah itulah pendapat yang benar. Karena Al-Qur`ân menjelaskan sebagian ayatnya dengan sebagian lainnya. Dan yang pertama kali perlu diperhatikan dalam memahami makna-makna ayat-ayat Al-Qur`ân, yaitu dengan mengacu pada ayat-ayat yang semakna.

Kedua : Seandainya yang dimaksud dengan “imam” adalah syaikh thariqah –sebagaimana klaim kalangan Sufi–, maka pernyataan ini tidak bisa dijadikan dalil untuk menunjukkan tingginya kedudukan syaikh atau keharusan untuk memuliakannya. Sebab, panggilan dengan namanya tidak mesti menunjukkan keutamaan diri seseorang.

Imam ath-Thabari rahimahullah sendiri merajihkan pengertian “imam” tersebut, ialah orang-orang yang diikuti dan menjadi panutan di dunia.

Seperti sudah diketahui, sejumlah orang mudah mengekor setiap penyeru dan menyambut setiap ajakan. Tidak aneh jika mereka menyambut para tokoh kesesatan pula. Karena itu, diriwayatkan dari sejumlah ulama tafsir dari Ibnu ‘Abbas, berkata tentang tafsir kata “imam mereka” dalam ayat, yaitu “imam dalam hidayah dan imam dalam kesesatan”.[3]

Keterangan ini juga telah disinggung oleh Ibnu Katsir. Kata beliau: “Mungkin saja pengertian dari “imam mereka”, maksudnya ialah setiap kaum (dipanggil) dengan orang yang mereka ikuti. Orang-orang beriman akan mengikuti para nabi, dan orang-orang kafir akan mengikuti para tokoh mereka. Allah telah berfirman, yang artinya: Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka …. (al-Qashash/28:41).

Mujahid berkata,”Imam, ialah orang yang diikuti. Maka nanti akan dipanggil, datangkanlah para pengikut Nabi Ibrahim, datangkanlah para pengikut Musa, datangkanlah para pengikut setan, datangkanlah para pengikut berhala-berhala. Orang-orang yang berada di atas al haq, akan mengambil kitab (amalan) mereka dengan tangan kanan. Dan para penganut kebatilan akan mengambil kitab (amalan) mereka dengan tangan kiri”.

Apabila telah jelas bahwa “imam” itu bisa bermakna panutan dalam hidayah atau panutan dalam kesesatan; bisa juga seorang nabi, setan yang terkutuk, maupun berhala dan para pemuja (penganut)nya akan dihimpun di bawah panji sang panutan, baik ia panutan dalam kebaikan maupun dalam kejelekan, jika telah jelas hakikat ini; maka status seorang syaikh thariqat sebagai imam bagi para jamaahnya, tidak otomatis mengindikasikan keutamaannya. Bahkan tetap saja, penilaian terhadap diri syaikh thariqat ini tergantung kepada amalan-amalan, ucapan-ucapan dan ajaran-ajarannya yang ditimbang dengan ajaran Rasulullah, sehingga ia pun menjadi panutan dalam hidayah jika bertumpu pada ajaran-ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebaliknya, bisa jadi ia menjadi panutan dalam kesesatan seiring dengan penyelewengannya dari Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Seandainya yang menjadi “imam” mereka al-Kitab dan as Sunnah, niscaya mereka tidak membutuhkan penerapan berbagai ibadah yang tidak pernah diajarkan dalam al-Kitab dan as-Sunnah

DI ANTARA KLAIM PALSU KALANGAN SUFI[4]

Seorang penganut thariqat Tijâniyyah yang bernama al-Fûti, ia mengatakan kepada jamaahnya, bahwa thariqat mereka merupakan thariqat terbaik dan akan menjadi maraji` (rujukan) bagi semua wali Allah.

Al-Fûti berkata: “Pada hari Allah memanggil manusia dengan nama syaikh mereka dan memanggil mereka untuk mendekati syaikh mereka di atas kedudukannya … kalau para jamaah dipanggil dengan nama-nama syaikh (thariqah) mereka dan Allah memanggil para ahli thariqat untuk menuju tempat syaikh mereka dan menempatkannya pada derajat syaikh, maka menjadi jelas dengan sedikit pencermatan saja, bahwa para penganut penutup para wali (Ahmad at-Tijani) yang bergantung kepadanya, selalu konsisten dengan wirid-wirid dan dzikir-dzikirnya, sehingga tidak ada orang lain yang mampu menyamai derajat mereka, kendatipun mereka itu ahli ma’rifah, shiddiqîn dan para aghwâts, selain para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sini, kalangan awam tarikat Tijaniyyah lebih afdhol daripada yang lainnya”. Lihat ar-Rimâh, 2/29.

Al-Fûti kian menampakkan rasa percaya diri terhadap kehebatan thariqatnya, dengan perkataannya: “Sungguh, seluruh wali akan memasuki kelompok kita, akan mengambil wirid-wirid kita, dan konsisten dengan thariqat kita, (wali-wali Allah) dari zaman pertama kali muncul kehidupan sampai hari Kiamat. Bahkan bila Imam Mahdi telah bangkit di akhir zaman, ia akan mengambil (ajaran) dari kita dan masuk kelompok kita”. Lihat ar-Rimâh, 2/29.

Sanggahan : Perhatikanlah, sejauh mana kebenaran klaim di atas. Bagaimana mungkin seluruh wali Allah (yang sebenarnya) sejak pertama muncul kehidupan akan bergabung dengan thariqat Tijâniyyah?

Ini sebuah klaim yang membutuhkan burhân (petunjuk) dan dalil yang kuat. Bagaimana mungkin orang-orang yang telah meninggal sebelum Ahmad at-Tijâni dilahirkan itu bergabung dengan thariqatnya? Sungguh suatu anggapan aneh yang sangat nyata.

Di bagian lain al-Fûti mengomentari orang-orang yang berada di luar thariqatnya. Dia berkata: “Adapun orang-orang yang masih berada dalam kegelapan, kebodohan, kesesatan dan kezhaliman (maksudnya, orang-orang yang belum mengikuti Tijâniyyah), tidak ada penghalang bagi mereka untuk bersandar dengan syaikh kami Ahmad at-Tijâni, padahal telah begitu nampak kemuliaan dan keutamaan thariqatnya, serta keistimewaan para pengikutnya; seperti terangnya sinar matahari siang hari di musim panas, kecuali mereka akan tercampakkan dari rahmat Allah Ta’ala, terhambat dari kebaikan, mendapat laknat, kecelakaan dan kerugian”. Lihat ar-Rimâh, 2/44.

Seorang dai Tijâni bernama Ibrahîm Nayyâs, ia berkata: “Berdasarkan sebagian pengertian yang dikandung oleh ayat-ayat ini, engkau bisa mengetahui bahwa orang yang memperoleh taufik dari Allah untuk bergabung dengan thariqat kami, niscaya kebahagiaannya di dunia dan akhirat sempurna, dan ia termasuk orang yang dicintai dan diterima di sisi Allah, walau bagaimanapun kondisinya”. Lihat as-Sirrul-Akbar wan-Nûrul-Abhar, hlm. 416).

Begitu pula salah seorang dari kalangan thariqat Rifâ’iyyah. Setelah menunjukkan kemampuan syaikhnya yang luar biasa, seperti menempuh jarak sejauh perjalanan 100 tahun hanya dengan satu langkah saja, mengetahui bahasa-bahasa burung, dan lain-lain, ia berkata: “Pegangilah ujung-ujung pakaiannya. Jadilah engkau orang yang duduk di majlisnya. Jangan sekali-kali menjauh dari kehidupannya dan mintalah syafaat dengan namanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menolak permohonan syafaatmu melalui namanya. Karena ia termasuk ahli bait yang mulia. Sungguh orang-orang besar, tokoh-tokoh …, mereka semua telah mengetahui bahwa tarikatnya merupakan jalan keselamatan dan keamanan. Kecintaan terhadapnya termasuk faktor paling efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka mengharuskan diri dan keluarga mereka untuk berpegang dengan janjinya, dan komitmen dengan thariqatnya” Lihat ar-Rimâh, 2/25, 1/349-350.

Oleh karena itu, setiap kaum Muslimin harus waspada. Jalan selamat dalam beragama ialah dengan mengikuti pemahaman generasi Salaf, yaitu jalan yang penuh hikmah dan berdasarkan ilmu.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 86-87.

[2]. Dinukil dari Taqdîsul-Asykhâs, 1/348-352.

[3]. Fat-hul-Qadîr, 3/248. Nukilan dari Taqdîshul-Ashkhâs, 1/348.

[4]. Dikutip dari Taqdisul-Asykhâs, I/349-350.

http://www.almanhaj.or.id/content/2645/slash/0